Oleh : Muhammad Rayhan
Planetarium & Observatorium Jakarta
Himpunan Astronomi Amatir Jakarta

Tidak lama lagi kita akan segera menyambut fenomena Gerhana Matahari total pada tanggal 9 Maret 2016. Fenomena astronomis ini sangat dinantikan terutama bagi para pecinta astronomi karena termasuk fenomena yang sangat langka. Untuk skala bumi saja, fenomena ini hanya terjadi paling cepat setiap 18 bulan sekali. Untuk wilayah Indonesia sekalipun, peristiwa ini terakhir kali terjadi pada 28 tahun yang lalu, dan setelah edisi tahun 2016 ini, baru akan berulang kembali 7 tahun yang akan datang. Jika dipersempit skalanya pada titik lokasi yang sama, fenomena ini bahkan baru akan berulang rata-rata setiap 400 tahun sekali!

Tidak hanya langka, Gerhana Matahari total juga merupakan salah satu fenomena astronomi paling indah nan mempesona serta akan menghadirkan rasa takjub bagi yang memandangnya. Melihatnya dengan mata kepala akan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan, namun jika kita bisa mengabadikannya dalam sebuah foto, tentu akan menjadi buah kenang-kenangan yang sangat menyenangkan. Lalu bagaimana cara mengabadikannya?

Eksposur Yang Tepat Dalam Memotret Gerhana

            Seperti teknik fotografi lainnya, memotret gerhana matahari juga selalu terkait dengan yang disebut Segitiga Eksposur. Segitiga Eksposur terdiri dari tiga elemen paling dasar dan penting dalam fotografi, yaitu Kecepatan Shutter atau Rana, Diafragma atau lorong cahaya pada lensa, dan ISO atau ASA, ukuran sensitifitas sensor. Ketiga elemen ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk ke sensor kamera, namun dengan parameter yang berbeda-beda. Kecepatan Shutter atau Rana adalah nilai kecepatan kamera dalam mengambil gambar. Semakin cepat kamera dalam mengambil gambar, maka akan semakin sempit waktu bagi cahaya untuk masuk ke sensor sehingga biasanya terlihat cenderung gelap. Sebaliknya, semakin lambat kecepatan shutter membuat waktu yang cukup lama bagi cahaya untuk masuk dan menerangi isi sensor sehingga biasanya objek terlihat terang. Sementara itu, nilai pada diafragma menentukan seberapa lebar lorong cahaya yang ada pada lensa kamera. Semakin kecil nilai Diafragma maka akan semakin besar lorong pada lensa sehingga membuat banyak cahaya yang dapat masuk dan membuat hasil foto menjadi lebih terang. Sebaliknya, semakin besar nilai Diafragma maka akan semakin kecil dan sempit lorong pada lensa sehingga membuat tidak banyak cahaya yang masuk dan menghasilkan hasil foto yang biasanya lebih gelap. Dan yang ketiga adalah ukuran nilai ISO atau ASA sebagai satuan ukuran sensitifitas sensor. Semakin kecil nilai ISO maka sensor kamera semakin tidak terlalu sensitif sehingga biasanya membuat hasil foto lebih gelap. Sebaliknya, nilai ISO yang besar membuat sensor kamera lebih sensitif dalam menangkap gambar menjadi lebih terang.

Gambar 8. Segitiga Eksposur. Tiga elemen dasar yang mengatur fotografi.
Gambar 8. Segitiga Eksposur. Tiga elemen dasar yang mengatur fotografi.

Berikut adalah tabel panduan yang berisikan informasi pengaturan yang tepat untuk setiap fase-fase Gerhana Matahari Total. Untuk dapat menggunakan tabel ini, pilihlah terlebih dulu nilai ISO pada tabel di sebelah kiri atas yang akan digunakan selama pemotretan gerhana berlangsung. Kemudian beranjak ke tabel sebelah kanan, pilihlah nilai Diafragma yang sebaris dengan pilihan ISO awal. Pada kolom diafragma yang telah dipilih, turunlah ke tabel Kecepatan Rana yang ada di bawahnya sesuai dengan kolom tabel diafragma, dan itulah nilai kecepatan rana yang menjadi panduan kita dalam memotret setiap fase dan fitur Gerhana Matahari Total. Mulai dari fase gerhana parsial, lalu memasuki fase kritis pada beberapa detik sebelum totalitas dengan menampakkan fenomena Bailey’s Beads dan Diamond Ring Effect, hingga saat fase gerhana total yang menampilkan keindahan Korona matahari dengan berbagai jarak radius matahari.

Gambar 9. Tabel panduan dalam menentukan nilai ISO, Diafragma dan Kecepatan Rana untuk pemotretan pada seluruh fase-fase gerhana. Sumber: http://www.mreclipse.com/
Gambar 9. Tabel panduan dalam menentukan nilai ISO, Diafragma dan Kecepatan Rana untuk pemotretan pada seluruh fase-fase gerhana. Sumber: http://www.mreclipse.com/

 

JPEG Atau RAW?

            Pada kamera DSLR dan beberapa kamera digital, terdapat pilihan format untuk setiap gambar yang dihasilkan. Format yang biasa dipakai adalah JPEG (Joint Photographic Expert Group), sebuah format foto yang dikompres sedemikian rupa sehingga menghasilkan file foto yang lebih kecil dari kemampuan piksel aslinya. Setiap piksel pada sebuah foto format JPEG terdiri dari tiga warna dasar; merah, hijau dan biru (RGB). Setiap warna dasar ini memikili tingkat kecerahan yang bervariasi dari yang paling gelap (=0) hingga yang paling saturasi/terang (=255). Selain JPEG, format gambar lainnya yang ditawarkan adalah RAW. Sesuai namanya, file RAW adalah gambar yang sama sekali berbentuk mentah, langsung dari kamera tanpa melewati proses atau kompresi apapun. Hal ini membuat file format RAW memiliki ukuran file yang besar dan sesuai dengan kemampuan jumlah piksel kamera. Selain itu, file RAW memiliki rentang kecerahan gambar dari 0 hingga 4096, jauh lebih besar dari yang dimiliki oleh format JPEG, sehingga memiliki rentang opsi yang lebih luas saat proses pengolahan gambar.

                Masing-masing format file gambar ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada format JPEG, kelebihannya berupa ukuran file tidak terlalu besar sehingga membuat kita dapat menyimpan lebih banyak gambar pada kartu memori penyimpan gambar. Selain itu, kemampuan file yang terkompres membuat file format JPEG mudah dan cepat terbaca oleh Kartu memori. Namun kekurangan dari format JPEG adalah adanya kompresi kualitas dan berkurangnya rentang kecerahan gambar sehingga membuat opsi pada saat pengolahan gambar menjadi berkurang. Sebaliknya, file RAW memiliki rentang kecerahan yang begitu besar sehingga membuat opsi pengolahan gambar menjadi besar dan mudah. Segala informasi gambar masih tersimpan sehingga kita bisa menggunakannya lebih leluasa saat pengolahan gambar. Hal ini sangat cocok dengan pemotretan Gerhana Matahari Total karena Korona Matahari memiliki rentang kecerahan yang sangat luas dari 1 hingga 1000 sehingga format file RAW akan cukup memudahkan dalam memproses gambar Korona yang lebih baik. Namun kekurangan dari format file RAW adalah ukurannya yang besar, membuat kita harus menyiapkan kartu memori dengan kapasitas yang lebih besar. Selain itu, format yang besar tersebut membutuhkan daya baca yang cepat dari sebuah kartu memori, jika tidak maka akan terdapat jeda waktu bagi kamera dalam menghasilkan gambar dan akhirnya mengurangi waktu pemotretan. Oleh karena itu, pastikan memilih kartu memori yang memiliki daya baca yang cepat sehingga tidak mengorbankan waktu yang berharga di saat fase totalitas gerhana berlalu dengan cepat.

Daftar Pustaka

Totality Eclipse of the Sun by Mark Littmann, Fred Espenak and Ken Willcox.
Lesson From the Master – Current Concepts in Astronomical Image Processing by Robert Gendler.
Digital Compositing Techniques for Coronal Imaging, By Fred Espenak.

Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *