Ingin terbang kayak burung? Rasanya niat gini udah lama jadi mimpi manusia apapun peradabannya. Sejak sebelum Masehi, manusia berusaha untuk mencapai dan meraih Bulan, bintang, bahkan Matahari. Tengok saja ragam budaya yang terejawantah dalam mitos/legenda. Simak mitologi Yunani di kisah Daedalus dan putranya Icarus yang melarikan diri dengan sayap terbuat dari lilin. Saat mendekati Matahari, sayapnya leleh dan mereka pun jatuh di laut. Kini? Wahana Ulysses dan SOHO pun ditugaskan tuk mengintip Matahari bahkan mendekatinya. Di balik ini semua, nyatanya untuk mewujudkan mimpi itu merupakan sejarah panjang bagi manusia.


Sejak abad 15, salah satu menteri pada Dinasti Hsia yaitu Wan Pu berusaha terbang dengan layangan raksasa bertenaga roket (berbasis mesiu seperti kembang api luncur). Tak lama juga ditemukan sketsa mesin terbang berbaling-baling. Sementara pada cerita klasik karya penulis Perancis Verne berjudul Dari Bumi ke Bulan tahun 1865 pun jadi perwujudan keinginan di atas (Sempat dibuat film berjudul Perjalanan ke Bulan oleh Georges Melier awal 1900-an). Tiba saatnya 17 Desember 1903, Wright bersaudara melakukan eksperimen penerbangan yang jadi cikal bakal adanya pesawat terbang. Sebenarnya banyak lagi kisah seputar mimpi manusia untuk mengarungi angkasa.


Masuk abad 20, baru roket seperti yang kini dikenal mulai berkembang. Pada dasarnya roket adalah mesin atau pesawat yang bergerak dengan dorongan jet (semburan gas panas). Kepeloporan ini diawali Konstantin Tsiolkovsky (ahli Matematika – Soviet), Herman Oberth (ahli Fisika kelahiran Rumania – Jerman), Paul Schmidth (Amerika Serikat). Adapun yang berhasil membuat roket berbahan bakar cair pertama adalah Robert Goddard – profesor Fisika asal Amerika Serikat (16 Maret 1926). Goddard dijuluki Bapak Roket Modern. Usaha peroketan ini disusul Wernher von Braun – Jerman yang terkenal dengan roket jenis A-2 dan V-2. Roket V-2 disiapkan untuk mesin perang menjelang Perang Dunia II, yang akhirnya melahirkan teknologi IRBM (Intermediate Range Ballistic Missile) dan ICBM (Inter Continental Ballistic Missile atau Peluru Kendali Antar Benua) yang siap untuk membawa hulu ledak nuklir (bom nuklir). Braun tahun 1945 pindah ke AS.


Teknologi ICBM akhirnya membuat Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit buatan pertama di dunia Sputnik I (4 Okt. 1958) yang berhasil mengorbit Bumi di ketinggian 800 km selama 162 hari. Tanggal peluncuran bersejarah ini diperingati Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai pembuka acara tahunannya World Space Week (Pekan Antariksa Dunia) selama 20 tahun terhitung tahun 2001. Perkembangan ini disusul dengan peluncuran Sputnik 2 dengan awaknya Laika, seekor anjing. Sementara Amerika Serikat langsung menyusul dengan Explorer-1.


Kembali Uni Soviet buat kejutan dengan mengorbitnya kosmonot pertama – Yuri Gagarin dengan Vostok-1 – 12 April 1961 selama 108 menit. Lagi-lagi AS menyusul dengan mengangkasanya Alan Sheppard – 5 Mei 1961. Perlombaan prestasi untuk meneliti luar angkasa makin ketat dengan mendaratnya pertama kali manusia di Bulan – Neil Armstrong dengan Apollo 11 – 19/20 Juli 1969. Sampai 1980-an tak kurang 4.000-an wahana diluncurkan dengan berbagai misi, berawak maupun tidak.

(Illustration: CXC/NGST/NASA)

http://chandra.harvard.edu/

Melihat kesempatan yang ada, akhirnya teknologi ruang angkasa ini digunakan untuk penelitian iptek. Misal stasiun angkasa Salyut (1971, Soviet) dan Skylab (1973, AS). Yang unik adalah penggabungan Soyuz (Soviet) dengan Apollo (AS) Juli 1975. Hal ini dianggap sebagai simbul perdamaian dalam iptek ke-antariksa-an. Baru terjadi lagi tahun 1995, pesawat ulang alik Atlantis (AS) bergabung dengan stasiun angkasa Mir. Dan saat ini yang sedang dibangun adalah International Space Station (ISS) yang berawal tahun 1984 dan baru terlaksana perancangannya tahun 1994 dan mulai dibangun 1997. Pemrakarsanya Amerika dan Rusia. Yang terlibat 17 negara antara lain ESA (European Space Agency: Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Italia, Irlandia, Inggris, Jerman, Norwegia, Perancis, Swiss, Spanyol, Swedia), Jepang, Kanada, Brasil. Penyusunan modul utama siap tahun 2006 (selebihnya sambil jalan). Dirancang sebagai laboratorium angkasa. Pesawat ulang alik pun dapat parkir di sana, termasuk turis angkasa – barangkali kamu mau mampir istirahat di sana ..leyeh-leyeh di tempat tidur jala, ayun-ayun bentar trus jalan-jalan ke Mall Antariksa.

Dampak IPTEK Keantariksaan

Bagaimanapun memang sudah banyak manfaat dari majunya IPTEK antariksa, namun ada pula sisi yang mengkhawatirkan. Ribuan satelit telah diluncurkan, tak terbayang dana dan jiwa-raga sudah terkorbankan semisal meledaknya Challenger yang merenggut nyawa 7 awaknya – juga kegagalan lain yang sejenis. Belum polusi udara yang timbul dari asap roket yang memperburuk kualitas udara. Banyak pula satelit yang sudah tak terpakai memenuhi angkasa layaknya sampah. Juga tabung, kepingan satelit atau roket, dsb. Biasa dikenal sebagai limbah antariksa atau man-made space debris. Kini lebih dari 25.000 buah sampah seperti itu melayang-layang, tak terhitung yang ukuran kecil.


Selain itu – makin padat satelit, tentu resiko tabrakan antar wahana makin besar (beberapa kasus telah terjadi). Lainnya – bila ada gangguan (ketidakstabilan), maka sampah ini akan jatuh ke Bumi layaknya meteor (atau sengaja seperti Mir yang diledakkan lalu dijatuhkan ke laut). Ini mungkin masih dapat diselamatkan. Yang jadi masalah bila bahan bakar yang dipakai adalah unsur radioaktif (energi nuklir) seperti Kosmos. Bukan tenaga saja yang terkuras, tapi dana yang tidak kepalang tanggung untuk menyelamatkan dampak kontaminasinya saat wahana ini jatuh. Kasus mirip saat Cassini-Huygens hendak diluncurkan ke Saturnus.


Selain itu, makin padat satelit tentu mengganggu semisal riset bintang atau benda langit lain. Pendaran akibat memantulkan cahaya Matahari (environmental light pollution) membuat polusi cahaya dan ini jelas sangat merugikan. Juga tubuh wahana yang makin besar tentu menghalangi obyek langit dibelakangnya. Sangat terasa bagi observasi landas-Bumi, bahkan teleskop Hubble pun sudah merasakan dampaknya (ground/space-based astronomy). Bayangkan misalnya makin banyak satelit .. wah lama kelamaan keseluruhannya terakumulasi layaknya payung – jelas cahaya Matahari akan terhambur terhalang di angkasa. Cahaya Matahari ke Bumi berkurang, tentu berpengaruh pada temperatur, lalu iklim, lalu .. lalu .. silakan saja anda berimajinasi ..


Salam WfG

Sekedar mengingatkan, SP3 bentar lagi. LAPAN bukan sekedar lembaga pengamatan Matahari. Jadi diskusi tentang penelitian astronomi dan wahana antariksa silakan disiapkan juga. Workshop Roket Air memang menyenangkan, tapi diskusi roket “beneran” harusnya jadi tantangan yang lebih mengasyikkan. Katanya mau jalan-jalan ke bintang .. bintang Sirius aja yang paling terang, jadi ga kesasar digelapan malam .. hihi. Hallo .. hallo warga SIRIUS, jangan kehilangan moment. Tahun ini 4 pilot pertama yang handal memang sudah pensiun. Namun tersisa 1 di Jakarta, kejar aja dan minta ilmunya sebanyak mungkin tuh. Apalagi bekas “lurah”, pasti terbiasa dengan ragam kegiatan dan ga mungkin segan tuk turun tangan tuh. Ayo S.E.M.A.N.G.A.T.

Jakarta, 03 Oktober 2009. 23:44.

Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *