Fotografi adalah seni melukis dengan cahaya. Pada prosesnya, kamera menangkap cahaya dalam berbagai rentang intensitas, mulai dari yang paling terang hingga yang paling gelap. Sayangnya, ketika kita memotret dengan kamera, hasil yang didapatkan tidak sama dengan yang dihasilkan oleh pandangan mata. Hasil foto biasanya menjadi sangat gelap pada daerah yang redup, atau menjadi sangat terang pada bagian yang tersinari cahaya. Dalam astrofotografi, problem ini juga sering ditemui, terutama pada objek atau komposisi objek yang memiliki rentang intensitas sangat tinggi. Namun tak perlu pusing, teknik HDR hadir dalam menyelesaikan masalah itu. Dalam artikel singkat ini akan dijelaskan apa itu teknik HDR dan bagaimana cara melakukannya. Secara khusus juga akan dijabarkan dengan detail bagaimana teknik HDR dapat mengolah salah satu objek astrofotografi yang paling sulit untuk diproses, Korona Gerhana Matahari Total.
Kamera Tidak Seindah Mata
Pernahkah anda pergi ke pegunungan di siang hari yang cerah dan menikmati indahnya pemandangan lengkap dengan langit yang mengharu biru? Bagi anda yang sudah pernah, nikmatnya memandangi keindahan alam pegunungan terkadang tidak cukup membuat anda puas sehingga anda ingin mencoba mengabadikan keindahannya dengan kamera. Potret dan lihatlah hasilnya, apakah seindah pandangan mata? Gunung dan datarannya mungkin terlihat indah, tapi langit terlihat putih, terang dan pucat. Rubahlah settingan kamera dan potretlah kembali, mungkin ada berhasil mendapatkan langit yang mengharu biru namun gunung dan datarannya malah terlihat gelap dan hitam. Sebaik apapun anda merubah settingan diafragma, eksposur atau ISO, anda hanya akan mendapatkan salah satu dari keindahan dua unsur tersebut dan mengorbankan unsur lainnya. Hal ini terkait dengan keterbatasan kemampuan kamera dalam mengoreksi perbedaan intensitas cahaya pada sebuah objek. Kamera dapat menyesuaikan kecerahan gambar pada bagian yang terlalu terang dan sebaliknya juga dapat menyesuaikan kecerahan gambar pada bagian yang terlalu gelap, namun tidak bisa melakukan keduanya sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Sampai saat ini, mata manusia adalah kamera terbaik yang pernah dibuat (oleh Tuhan YME). Mata manusia didesain secara khusus untuk dapat menyesuaikan berbagai intensitas cahaya yang ada di sekitar kita secara dinamis dan terus menerus melalui adaptasi selaput iris dan metode biologis lainnya. Retina Mata manusia memiliki rasio kontras statis sekitar 100:1 (sekitar 6,5 f-stop). Begitu mata digerakkan, retina kembali menyesuaikan pencahayaan secara kimiawi dan mekanis dengan menyesuaikan iris yang mengatur ukuran pupil. Hal ini meningkatkan kemampuan rasio kontras dinamis mata hingga 1.000.000:1 (20 f-stop)! Sebagai perbandingan, kamera cinematografi paling canggih dan paling mahal yang ada saat ini baru memiliki kemampuan rasio kontras dinamis hingga 16.000:1 (14 f-stop) saja.
Dibandingkan dengan mata, kamera yang ada saat ini memiliki banyak sekali keterbatasan sehingga hasil foto berbeda jauh dengan apa yang dilihat oleh mata. Untuk dapat menyamai rasio kontras mata yang tinggi, dalam memotret kita harus menggunakan teknik yang disebut dengan HDR untuk dapat menghasilkan gambar dengan detail dan kontras yang sama baiknya dengan yang dihasilkan oleh pandangan mata.
Apa itu HDR dan bagaimana tekniknya?
HDR adalah singkatan dari High Dynamic Range, yang secara harfiah berarti Rentang Dinamis Tinggi. HDR terkait dengan rentang intensitas cahaya pada sebuah foto, semacam rasio kontras (Contrast Ratio) yang merupakan pengukuran perbedaan antara bagian paling terang sebuah foto dengan bagian yang paling gelap. Istilah HDR sendiri lebih banyak ditemui dalam terminologi videografi karena pada hakikatnya video adalah hasil dari gerak dinamis sebuah gambar. Dalam fotografi, teknik HDR diadopsi untuk menghasilkan sebuah gambar dengan kualitas detail yang tinggi, baik pada bagian terang maupun pada bagian gelap.
Berbeda dengan pengukuran rasio kontras yang menggunakan angka linear untuk menggambarkan iluminasi bagian putih paling terang dan bagian hitam paling gelap (sebagai contoh, 100:1, 1000:1 dll), HDR menggunakan istilah F-Stop dalam pengukurannya. Namun sedikit berbeda dalam pengertian fotografi yang berarti satuan pengukuran diafragma pada lensa, f-Stop pada terminologi HDR adalah kemampuan sebuah gambar dalam menghasilkan perbedaan intesitas kecerlangan cahaya yang diukur dengan akar 2. Sebagai contoh, jika sebuah kamera menggunakan sensor yang dapat merekam dengan kemampuan rentang dinamis 6 f-stop, artinya sensor tersebut dapat mengkoreksi sebuah gambar yang memiliki daerah terang 64 kali lebih terang dibanding daerah gelapnya, sebagai hasil dari akar 6, yaitu 2 x 2 x 2 x 2 x 2 x 2 = 64. Dalam pengukuran rasio kontras, nilainya adalah 64:1.
Dalam videografi, teknik HDR dapat berjalan secara simultan dan dinamis layaknya cara kerja mata dalam memandang. Namun dalam dunia “diam” fotografi, HDR dapat terhasil dengan menggunakan teknik khusus yang melibatkan pengolahan 2 atau lebih foto yang memiliki tingkat eksposure yang berbeda yang dalam dunia fotografi disebut dengan istilah Bracketing. Bracketing adalah sebuah fasilitas dalam sebuah kamera yang memungkinkan kita untuk mengambil foto sebanyak 3 kali atau lebih dengan tingkat eksposur yang berbeda-beda. Umumnya satu foto akan diatur pada eksposur yang baik atau imbang. Satu foto lainnya akan diatur dengan eksposur yang lebih gelap (underexposure), untuk mendapatkan detail dan kontras yang baik pada objek yang lebih terang. Sementara pada foto sisanya akan diatur dengan eksposur yang lebih terang (overexposure), untuk mendapatkan detail dan kontras yang baik pada objek yang lebih gelap. Ketiga foto tersebut kemudian diolah dengan menggunakan software pengolahan gambar khusus yang bisa mengolah dengan teknik HDR. Beberapa diantaranya yang paling umum adalah Adobe Photoshop, Photomatix Pro atau EasyHDR.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan gambar HDR adalah bahwa ketiga (atau lebih) gambar tersebut harus memiliki komposisi dan posisi yang persis sama tanpa ada pergerakan, pergeseran atau bahkan perubahan sedikit pun. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena pengambilan gambar tidak hanya sekali (Single Exposure), namun berkali-kali sehingga ada jeda waktu di antara pengambilan gambar yang memungkinkan adanya pergerakan atau pergeseran pada objek. Adanya pergerakan, pergeseran atau perubahan akan menghasilkan gambar yang tidak sejajar dan menyebabkan efek Ghosting atau gambar menjadi tidak tajam. Hal ini dapat dihindari dengan salah satunya menggunakan tripod penyangga saat pengambilan gambar, atau menghindari objek yang bergerak, seperti orang berjalan, kendaraan yang lalu lalang, atau pohon yang tertiup angin.
Teknik HDR dalam Astrofotografi
Astrofotografi adalah cabang fotografi yang mengkhususkan objeknya pada benda-benda atau fenomena-fenomena langit. Benda atau fenomena langit yang menjadi objek astrofotografi dapat berupa bintang seperti Matahari yang memiliki intensitas cahaya sangat tinggi, hingga Galaksi paling jauh atau Nebula paling redup yang memiliki intensitas cahaya sangat rendah. Dengan kata lain, Astrofotografi juga berurusan dengan objek-objek yang memiliki tingkat atau rentang kecerlangan dinamis yang sangat tinggi. Perbedaan tingkat kecerlangan objek-objek tersebut membuat Astrofotografi menggunakan bermacam-macam kamera yang didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan pemotretan benda-benda yang memiliki tingkat kecerlangan yang bermacam-macam tersebut.
Benda-benda langit dan objek astronomis tersebut beberapa diantaranya memiliki rentang intensitas cahaya yang sangat berbeda pada berapa bagian dari satu kesatuan objek foto. Salah satu objek paling populer di kalangan astrofotografer, sekaligus menjadi salah satu yang paling sulit dalam mengatur kontras kecerlangannya yang seimbang, adalah M42 Nebula Orion.
Nebula Orion adalah sebuah kumpulan awan gas pembentuk bintang yang teriluminasi oleh cahaya dari bintang-bintang yang baru terbentuk di sekitarnya. Pada bagian intinya terdapat banyak bintang bayi yang sangat panas dan memiliki tingkat intensitas cahaya yang tinggi sehingga memiliki magnitudo yang cukup terang untuk kita lihat dengan mudah dari bumi. Sementara itu, pada bagian luarnya terdapat banyak awan gas yang lebih redup yang baru dapat kita lihat jika dipotret dengan eksposur yang cukup lama dan dalam waktu yang sama akan membuat bagian inti menjadi sangat terang (Overexposure).
Untuk dapat menghasilkan gambar Nebula Orion dengan tingkat kecerlangan yang sempurna pada semua bagian, dibutuhkan teknik HDR seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dibutuhkan setidaknya 2 foto yang sama dengan eksposure yang berbeda sehingga dapat menampilkan beberapa bagian yang memiliki tingkat kecerlangan yang berbeda, dimana pada eksposur yang lebih cepat memiliki detail yang baik pada daerah yang terang, sementara pada eksposur yang lebih lambat menghasilkan detail yang sama baiknya pada daerah yang lebih redup. Kedua foto tersebut kemudian diolah dengan menggunakan software pengolahan gambar khusus yang dapat mengkombinasikan beberapa foto dengan eksposur yang berbeda menjadi sebuah foto High Dynamic Range seperti hasil pada gambar 2 di bawah ini.
Daftar Pustaka
- Totality Eclipse of the Sun by Mark Littmann, Fred Espenak and Ken Willcox.
- Lesson From the Master – Current Concepts in Astronomical Image Processing by Robert Gendler.
- Digital Compositing Techniques for Coronal Imaging, By Fred Espenak.