Apabila kita mencari arti kata ‘observatorium’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), observatorium (ob.ser.va.to.ri.um /obsèrvatorium/) diartikan sebagai gedung yang dilengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dan sebagainya) untuk keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya’.
Apabila kita telaah secara lebih meluas, observatorium dapat diartikan sebagai suatu tempat yang didedikasikan untuk melakukan pengamatan benda-benda angkasa. Observatorium (berbeda dengan proto-observatorium seperti Stonehenge atau Angkor Wat) tidak serta-merta harus memiliki teleskop, contohnya, observatorium yang ada sebelum era Galileo. Pada era tersebut, observatorium menggunakan instrumentasi pengukuran misalnya menggunakan teodolit, kuadran astronomik, atau pun oktan.
Sekarang, istilah observatorium tidak hanya dipakai untuk bangunan yang ditujukan untuk mengamati langit, melainkan juga mengamati Bumi dalam berbagai disiplin ilmu selain astronomi. Observatorium yang akan dibahas di sini adalah observatorium astronomi yang ada di Indonesia, khususnya di zaman pra-kemerdekaan: Mohr dan Bosscha.
Observatorium Mohr
Meskipun bangsa Indonesia telah mengenal objek-objek angkasa sejak lama, ternyata ada observatorium astronomi modern pertama yang dibangun di Indonesia. Yap, observatorium pribadi milik seorang ilmuan yang merangkap sebagai pendeta dari Belanda bernama Johan Maurits Mohr (1716-1775).
Dikenal dengan observatorium Mohr, dibangun di kediamannya yang terletak di Batavia, tepatnya di Mollenvliet (sekarang Glodok, Jakarta Barat) pada 1765. Bangunan ini terdiri dari enam lantai dengan tinggi atap datar hingga 30,5 meter (merupakan bangunan tertinggi di Batavia pada masa itu). Ongkos pembangunannya mencapai 200.000 gulden (setara Rp 82 milyar, kurs Juni 2012).
Instrumen astronomi yang dimiliki observatorium tersebut merupakan yang terbaik pada masanya. Ada jam astronomik berukuran 180 cm x 43 cm, sepasang globe berdiameter 60 cm, kuadran berukuran 60 cm, mesin paralaktik, oktan laut sepanjang 76 cm, dan teleskop sepanjang 550 cm.
Selama observatorium tersebut berfungsi, dilakukan sejumlah pengamatan fenomena alam. Hasil pengamatan yang paling terkenal yaitu pengamatan transit Venus pada 1761 dan 1769. Hasil pengamatan transit dipublikasikan pada Philosophical Transactions of the Royal Society, London.
Observatorium Mohr berhenti digunakan setelah wafatnya Pendeta Mohr pada 10 tahun setelah dibangun. Tidak ada pihak yang melanjutkan mengelola, sehingga bangunan rusak dan beralih dari tangan ke tangan, termasuk menjadi barak tentara. Hingga pada 1844, hanya tinggal pondasinya yang terlihat. Sekarang, sisa bangunan observatorium ini sudah tidak ada
Observatorium Bosscha
Babak baru astronomi era Hindia Belanda dimulai setelah astronom Eropa kelahiran Madiun, Dr. J Voûte (1879-1963) berkolaborasi dengan konglomerat perkebunan teh, K. A. R. Bosscha (1865-1928) untuk membangun sebuah observatorium yang berdiri independen. Joan George Erardus Gijsbertus Voûte yang saat itu bekerja di Royal Magnetic and Meteorological Observatory (sekarang BMKG) terdorong untuk mendirikan astronomi yang modern di Jawa sekaligus mempromosikan astronomi di Hindia Belanda.
Voûte dan Bosscha sepakat untuk mendirikan Nederland-Indische Sterrenkundige Vereeniging (Asosiasi Astronomi Hindia Belanda) pada 1920. Pencarian teleskop yang akan digunakan di observatorium ini dilakukan sendiri oleh Bosscha dan Voûte ke Eropa. Beberapa teleskop diperoleh dari donasi astronom Eropa seperti Williem de Sitter (teleskop 18-cm) dan Bakhuyszen (koleksi perpustakaan).
Teleskop utamanya yaitu teleskop refraktor kembar Carl Zeiss berdiameter 60-cm yang dibangun di Jena, Jerman antara 1925—1926 dan diinaugurasi di kubah observatorium pada Juni 1928, menandai lahirnya astronomi dan astrofisika modern di Indonesia. Sayangnya, K. A. R. Bosscha tidak dapat menyaksikan buah dari jerih upayanya. Ia wafat pada November 1928.
Dedikasi dan kontribusi Bosscha dalam mengembangkan astronomi dan astrofisika membuat namanya digunakan sebagai nama observatorium ini. Lokasi Observatorium Bosscha dipilih atas pertimbangan melalui kajian meteorologis, klimatologis, dan vulkanologis. Lokasinya di Lembang memungkinkan untuk dilakukan pengamatan yang sulit, seperti pengukuran bintang ganda secara presisi dan pergerakan benda langit.
Contoh hasil observasi yang penting yaitu pengukuran paralaks Proxima Centauri oleh Voûte. Hal itulah yang digunakan untuk mengonfirmasi klaim Robert T.A. Innes’ (penemu Proxima Centauri) bahwa Proxima Centauri merupakan anggota sistem bintang Alpha Centauri. Meskipun demikian Observatorium Bosscha tidak hanya meneliti bintang ganda ataupun pergerakan benda langit, melainkan juga mempelajari struktur Bima Sakti di belahan langit selatan.
Pada periode tersebut, Observatorium Bosscha menjadi ‘pemain penting’ dalam penelitian astronomi di Bumi belahan Selatan. Sejumlah penelitian dari berbagai astronom Eropa (sebut saja Antonie Pannekoek, G.V. Simonov) banyak dilakukan sampai awal Perang Dunia II. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, astronom Belanda yang bekerja di Observatorium Bosscha dijadikan tahanan perang hingga meninggal.
Secara administratif, Observatorium Bosscha di bawah Kapt. Masasi Miyadi, tentara Jepang. Miyadi mampu menyelamatkan observatorium dari kehancuran total. Setelah Perang Dunia II usai, Observatorium Bosscha dikembalikan ke Voûte. Miyadi kemudian menjadi Direktur Observatorium Astronomi Tokyo.
Salah satu astronom Indonesia yang memiliki peran penting yaitu Kusumanto Purbosiswoyo. Purbosiswoyo bergabung menjadi staff Observatorium Bosscha pada 1955 sebagai asisten. Ia berhasil meningkatkan performa teleskop Bamberg (37-cm refraktor) yang rusak selepas Perang Dunia II. Selepas memperoleh gelar Doktor di Amerika Serikat, Dr. Purbosiswoyo kembali meneliti di Obsrevatorium Bosscha dan mengajar astrofisika di Departemen Astronomi ITB.
Salah satu kontribusi lain Observatorium Bosscha yaitu studi mengenai struktur galaksi. Karenanya, Dr. G.B. van Albada, Direktur Observatorium Bosscha sekitar 1947 mulai ‘mencari’ teleskop yang baik untuk melakukan pengamatan struktur galaksi. Berdiskusi dengan Dr. Gerard Peter Kuiper, Direktur Observatorium Yerkes, AS, Kuiper menawarkan diri untuk menyumbangkan optika teleskop Schmidt (yang memang ideal untuk penelitian serupa) untuk dipakai di Observatorium Bosscha.
Meskipun menghadapi tantangan berupa pendanaan yang terbatas, dengan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya teleskop dapat dibangun dan digunakan untuk penelitian. Teleskop ini kemudian dinamakan Teleskop Bima Sakti.
Seiring berkembangnya penelitian yang ada di Observatorium Bosscha, kerja sama antar negara-negara di Asia terus diperkuat. Salah satu contohnya yaitu kerja sama antara Indonesia dan Jepang yang dimulai pada 1975. Tahun 1988, Observatorium Bosscha menerima donasi teleskop reflektor 45-cm dari pemerintah Jepang. Hingga saat ini, kerja sama di bidang astronomi dan astrofisika antara Indonesia dan Jepang masih berlanjut.