I. Moment for Meditation and Contemplation:
Wawargita ing Gita Pari “widiyuta ing waudadi, wintang ing widik”
Sejak ribuan tahun lalu, seiring sejalan jejak langkah peradaban manusia, lahir banyak cerita seputar alam semesta. Dimulai dari budaya lisan turun temurun, ber-generasi sampai era ke-kini-an. Di sini saya cuplik sebuah lirik dari sebuah tembang dari tanah leluhur pada masa awal lahirnya wayang kulit di Jawa Tengah, .. in Serat Mijil that there is tembang:
Irim-irim lintang lanjar ngirim, gubug penceng anjog,
wus manengah praune sang Raden, Jaka Belek maluku ing Kali,
lintang Bima Sekti, nitih kuda dhawuk. ..
Ternyata semua yang disebut dalam tembang ini adalah benda langit yang akrab bersahabat dengan kita yang hidup di belahan Bumi selatan. Atau yang lainnya:
“Lumaksana sekar sarkara ‘mrih, pininta maya-maya ‘nggeng ulah, kang minangka pituture,
duk masih awang uwung, ru-rung ana bumi langit, nanging Sang Hyang Wisesa,
kang kocap rumuhun, meneng samadyaning jagad, datan arsa mosik jroning tyas maladi,
ening aneges karsa.” (Hardjowirogo, 1982, Sejarah Wayang Purwa, Balai Pustaka, p. 75-77)
or with its free translation “Guided by sarkara’s (optimism) sacred song that there is always hopes for the beauty of every works, meanwhile its word is when the condition is still awang uwung and in this moment there is only just the presence of Sanghyang Wisesa which in contemplating, motionless, peace worship at His innercore of the heart, the questioning concerning God will.”.
Di sisi yang bersamaan dalam pengembaraan spirit Adi Ganesha (tafsir terhadap simbol ini bagi penulis adalah Pengetahuan nan Luhur) ada rajutan kata begitu indah, yaitu Persahabatan. Sebuah kata yang cukup menyita perhatian. Disadari atau tidak, setiap makhluk butuh sahabat walaupun dalam ranah jagad semesta – boleh saja secara positif ditafsir secara berbeda. Kata-kata “bersahabatlah dengan alam lingkungan” mungkin sering terdengar. Inilah yang ingin disampaikan dalam topik bahasan yang akan disajikan.
Persahabatan atau Wawargita, sahabat sejati dalam ranah spirit sanubari yang paling dalam – pun dalam dataran ujud yang senantiasa menimbulkan kerinduan yang mendalam antar sang pelaku. Dalam sisi lainnya, manusia senantiasa mencoba memahami alam raya dari berbagai ragam jalan. Usahanya selama berada di ranah kehidupan di dunia untuk menggapai sari pati yang tersembunyi dalam bentangan pikiran dan hatinya, tentu membawanya untuk menikmati harmoni jagad semesta yang bertabur bintang gemintang layaknya menikmati sebuah lagu diiringi orkestra bahkan paduan suara nan indah (Gita: tembang, lagu).
Dalam kiasan “Pari”, penulis menafsirkannya sebagai Lintang Pari yang merupakan sebutan untuk rasi bintang Crux yang digunakan sebagai “pedoman” arah (kompas) khususnya untuk manusia yang tinggal di belahan selatan sejak ribuan tahun lalu. Rasi bintang ini memang berlokasi di kubah langit dekat Kutub Langit Selatan. Namun, sebuah pengalaman saat penulis mengikuti kegiatan Science Camp yang dipandu oleh FOSCA di Pulau Pari pun menimbulkan nuansa persahabatan dalam memahami jagad raya, bagaimana merajut “Science” dengan beragam sudut keilmuan teriring spirit persahabatan antar semua tokoh yang terlibat. Bintang di laut, bintang di langit (widiyuta ing waudadi, wintang ing widik) sekedar sebuah gambaran bagaimana sains menawarkan ketiadabatasan cakrawala pemahaman tentang jagad raya dari sudut ranah ujud yang berbeda begitu ekstrim, namun tetap dalam koridor pagar spirit yang tetap dipelihara secara ketat – walau mungkin hanya cukup untuk sekedar mendapat sebuah serpihan zarah ridho-Nya. Pada sisi ini, simbolisasi Pari, adalah sebagai petunjuk dalam ranah lahir maupun batiniah.
Di sajian ini, penulis mencoba mengawali sajian “Science” terlebih dahulu secara global. Sementara itu harus diakui bahwa di mana pun manusia tinggal – dia tinggal di sebuah benda langit yang bernama Bumi. Sejak ribuan tahun lalu, kesan mendalam tentang bintang dan “bintang” di langit malam pun siang – yang disuguhkan di arena pancaindranya – menjadi lebur dalam alur tarikan nafasnya. Sejarah telah membuktikannya sedemikian lahirlah sains yang justru kini manusia berlomba bergayut padanya. Fenomena wajah langit siang dan malam di langit dan di Bumi, lahirnya istilah Matahari Bulan Bintang Planet, munculnya ide piramida dan beragam candi, juga munculnya tarian sakral Bedhaya Ketawang (Tarian Langit) di Jawa Tengah yang mengambil pola penari berdasar Lintang Kartika (Pleiades), mengemukanya harmoni aneka kalender dan lainnya adalah sekedar sketsa selintas sezarah sejarah dalam dekapan kebudayaan manusia dalam balutan penalaran kosmis. “Ilmu perbintangan” yang lebih dikenal sebagai astronomi pun mau tidak mau akhirnya harus diakui sebagai gambaran budaya manusia. Terkait dengan berlalunya International Year of Astronomy 2009 – maka patut kiranya Astronomi dijadikan media perenungan kita semua untuk menapak jalan menuju jendela sains secara terintegrasi dan sekaligus secara arif laksana memahami lahirnya epik Mahabarata yang siapapun akan kesulitan dalam ranah fisik apabila hanya berbekal warna hitam putih semata, yang justru menjadi harus seperti itu dalam ranah batiniah.
Mitologi Yunani terkait rasi bintang juga Zodiak mungkin sudah tidak asing lagi. Sementara khazanah keastronomian Timur Tengah layak menjadi fokus. Dan tentu banyak lagi kisah budaya menera langit dari aneka bangsa, termasuk di berbagai daerah di Nusantara. Pencarian jawaban terhadap itu semua tentu jadi khazanah budaya manusia dalam mencoba menyibak cadar langit perbintangan.
II. Tata Surya
Pada alur generasi berikut, perlahan dengan majunya iptek, era Copernicus dengan heliosentris-nya dapat dijadikan tonggak sejarah. Penelitian Tata Surya selanjutnya digagas Brahe, Galileo, Kepler, Huygens, Cassini, Halley, Piazzi, Newton, Herschel, dsb. Yang patut dicermati adalah terjadinya dampak positif pada jendela iptek sekaligus perkembangan nalar budi manusia setelah dapat menera sesuatu di sudut jagad raya yang sebelumnya sama sekali tidak kasat mata. Bagaimana memandang dirinya di jagad semesta yang seolah tiada bertepi.
III. Bintang dan Gugus Bintang
Bintang gemintang diteliti sampai lahirlah kesimpulan bahwa Matahari adalah bintang. Riccioli meneliti bintang Mizar dan diketahui Mizar ialah bintang ganda. Selain sistem bintang seperti ini, banyak dijumpai gugus bintang. Adapun ruang antar bintang bukan ruang kosong, sering didapati materi gas–debu (materi antar bintang). Di sini kerap dijumpai cikal bakal bintang, juga janin sistem keplanetan. Bintang muncul dari materi ini. Dengan penyatuan materi yang diikuti proses nuklir, lahir bintang sejati. Namun bila bahan bakar nuklir kurang, gagal menjadi bintang. Kadang lahir Bintang Katai Coklat, kadang Katai Merah.
Di akhir hidupnya, bintang kadang membubuskan Angin Bintang. Kadang disembur begitu banyak, memunculkan bintang Wolf Rayet. Ada pula letupan bintang yang melahirkan Kabut Planet. Sementara itu, inti bintang seperti ini biasanya tertinggal sebagai Katai Putih. Suatu ketika meletup keras dalam ujud Novae. Selain itu juga dikenal Supernovae. Kecerlangannya berlipat 10–100 milyard kali akibat ledakannya dan kini ada Hypernova (1999). Selain hamburan materi ke segala penjuru akibat ledakan itu, maka sebagian obyek ini inti bintangnya tersisa membentuk Bintang Neutron. Bila bintang ini berotasi cepat, melontarkan pancaran radio, lahirlah Pulsar. Bintang Neutron dan pulsar ditemukan tahun 1967 (Hewish–Bell, dan mereka berdua menerima Nobel Bidang Fisika karena penemuannya ini). Selain pulsar radio, dikenal Pulsar Sinar X dalam sistem bintang ganda yang ditemukan tahun 1974 oleh Taylor–Hulse yang sekaligus memperkokoh keabsahan teori Einstein. Selain itu atas dasar teori bahwa ledakan supernova pun dapat memunculkan Lubang Hitam. Dan bila obyek langit di atas sudah benar-benar kehabisan bahan bakar, reduplah dia, mendingin, akhirnya menjadi katai hitam atau katai gelap.
IV. Galaksi Bima Sakti
Bintang di langit malam yang dapat dinikmati dengan mata bugil hanya sebagian kecil, ±5000 dari satu keluarga perbintangan yang disebut galaksi Bima Sakti yang mengandung ±400 milyard bintang dengan bentuk spiral batang (barred spiral). Sementara tahun 1912, penelitian Leavitt dengan bintang variabel Cepheid menggiringnya pada kesimpulan, Awan Magellan Besar dan Awan Magellan Kecil adalah obyek di luar Bima Sakti, dan keduanya dianggap satelit galaksi kita. Makin berkembang saat benda langit yang disebut M31, nebula di rasi Andromeda adalah galaksi besar di luar galaksi kita (Hubble, 1923 – 1926. Penelitiannya melahirkan Teori Dentuman Besar sebagai awal alam semesta).
V. Jagad Raya
Galaksi kita dan Andromeda termasuk Gugus Lokal yang mengandung ±30 galaksi dan berada dalam orde jarak 1 Mpc (1 parsec = 3,26 tahun cahaya). Antara satu gugus dengan gugus lain membentuk grup lebih besar, super cluster. Yang lebih luas super-supercluster, dst. Secara garis besar, bentuk galaksi ada 4: elliptik, lenticular, spiral, dan tidak beraturan. Penelitian terhadap galaksi–luar diawali Slipher (1912) yang mengamati 4 nebula. Dari efek Doppler: 3 menjauh, 1 (Andromeda) mendekat. Ditambah sampai 12 nebula, hasil sama. Semua menjauh, kecuali Andromeda. Dilanjutkan Hubble (1925) dengan 45 galaksi. Hasil sama, kecuali ada tambahan 1 galaksi mendekat. Tahun 1929, Hubble–Humason menyimpulkan bahwa dalam skala jagad raya, semua galaksi menjauhi kita. Artinya alam semesta sedang dalam proses mengembang.
Dari sinilah akhirnya para astronom berusaha menelaah jagad raya secara makro dalam pengertian mulai menelaah struktur alam semesta dan awal mula terbentuknya jagad raya yang menggiringnya pada lahirnya bidang keilmuan kosmologi. Dalam hal ini dapat dipandang bahwa galaksi yang sedemikian banyaknya, bahkan ditaksir yang terdata mencapai 100-an milyard galaksi, hanyalah sebagai elemen terkecil dari alam semesta.
”Ukuran alam semesta yang amat besar ini memang terasa terlalu besar untuk kehidupan kita di Bumi. Bisa jadi hidup manusia akan tetap nyaman seperti sekarang seandainya ukurannya hanya sebesar galaksi Bima Sakti (Milky Way). Namun, waktu yang dibutuhkan alam semesta untuk mengembang hingga seukuran Milky Way hanyalah sekitar satu bulan. Dalam umur alam semesta yang hanya satu bulan ini sama sekali belum sempat terjadi pembentukan bintang, apalagi untuk memulai reaksi termonuklir di dalam bintang. Bintang memerlukan 10 milyard tahun untuk menjalankan proses ini, artinya alam semesta minimal berumur 10 milyard tahun, dan selama itu alam semesta terus mengembang dan suhunya menurun. Walhasil, tidak mengherankan bahwa alam semesta tampak besar, tua, dan dingin. Alam semesta memerlukan belasan milyard tahun semenjak saat lahirnya untuk mempersiapkan dirinya menerima kehidupan, kita semua ini, di dalamnya. Di titik ini kita berhenti sebentar untuk membayangkan sekaligus refleksi: betapa istimewanya kehidupan; begitu luar biasa persiapan alam semesta sebelum dapat membentuk kehidupan dan menyediakan akomodasi yang layak bagi kehidupan.”
Masalah jagad raya mengembang, ada kecenderungan bahwa makin jauh letak galaksi, makin cepat dia menjauhi kita. Hal ini diperoleh dengan mengamati pergeseran merah pada spektrumnya. Misal Galaksi Ursa Major berjarak 650 juta tc, menjauh dengan kecepatan 15.088 km/s, Galaksi Corona Borealis berjarak 940 juta tc menjauh dengan kecepatan 21.250 km/s, lebih jauh Galaksi Bootes berjarak 1,7 milyard tc dengan kecepatan 40.000 km/s. Hasil Hubble tentang pengembangan alam semesta menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara jarak galaksi dengan kecepatan menjauhnya (Hubble’s Law, 1929) yang dapat dirumuskan sbb.:
v = H.d dimana v : kecepatan galaksi
H : konstanta (konstanta Hubble)
d : jarak galaksi
Saat ini harga konstanta Hubble semakin konvergen ke nilai sekitar 70 km/detik/Mpc. Adapun obyek langit yang dipergunakan sebagai lilin penentu jarak untuk galaksi jauh bukan lagi memakai bintang variabel Cepheid, melainkan supernova khususnya tipe I (SNI) karena sifat terang dan praktis seragam dimanapun ditemukan.
VI. Kosmologi
Era kosmologi modern dapat dikatakan berlangsung sejak telaah secara makro ini bermula dari observasi terhadap obyek langit serta segala fenomenanya yang dijabarkan melalui perumusan matematis fisika. Khususnya setelah era lahirnya formulasi gravitasi Albert Einstein dan observasi yang dipelopori Edwin Hubble terhadap lautan galaksi. Dalam kosmologi dipelajari bentuk, struktur, komposisi, dan evolusi jagad raya yang menyangkut telaah awal mula lahirnya alam semesta, usia, dan perkiraan akhir riwayat alam semesta
Dalam kosmologi dikenal adanya asumsi yang disebut Prinsip Kosmologi. Berawal dari Prinsip Copernicus bahwa kita bukanlah pengamat yang istimewa, disusul perkembangannya dengan Prinsip Relativitas Khusus dan Prinsip Relativitas Umum yang juga menyangkut kecepatan rambat cahaya yang tetap yaitu c, lahirlah apa yang disebut Prinsip Kosmologi, yaitu:
1. Alam semesta dalam skala makro tampak seragam pada segala arah,
2. Bumi tempat tinggal kita tidaklah menempati posisi istimewa,
atau dengan jabaran lain bahwa alam semesta memenuhi 3 ciri utama, yaitu:
1. Ciri homogenitas ruang (spatial homogenity),
2. Ciri isotropi ruang (spatial isotropy),
3. Ciri keseragaman waktu (uniformity of time),
dimana ini berkaitan dengan hukum kekekalan momentum linier, hukum kekekalan momentum sudut, dan hukum kekekalan energi.
Beranjak dari sini, konsep mengembangnya alam semesta dapat dikatakan bahwa jagad raya tampak mengembang oleh siapapun sang pengamat dimanapun dia berada. Sementara dari Teori Relativitas Umum Einstein (Gravitasi) bahwa alam semesta tidaklah statis, akan bisa mengembang atau mengerut dengan segala dinamikanya dan semua bergantung pada proporsi massa-energi yang ada didalamnya. Pada saat sekarang dari gabungan keduanya secara pengamatan bahwa alam semesta mengembang dipercepat, pengembangannya berlaku pada semua titik ke segala arah dimana tidaklah ada apa yang disebut titik pusat pengembangannya. Ibarat permukaan balon yang diberi gambar beberapa titik, saat digelembungkan maka setiap titik yang ada akan menjauh satu sama lain.
Dari telaah termodinamika, bila saat ini mengembang maka seharusnya dulu – awal mula sekali – bahwa alam semesta tentu berukuran sangat kecil yang bersifat sangat padat dan sangat panas. Dari sinilah terlahir teori awal mula jagad raya yang disebut teori Dentuman Besar atau Big Bang.
VII. Big Bang
Bila kita kilas balik ke awal usia jagad raya, atau kita hitung mundur ke arah usia sangat dini alam semesta, maka tidak terbayangkan semua materi berawal dari katakanlah sebuah titik saja dengan kerapatan luar biasa besar. Untuk menjelaskan keterjadian alam semesta, tentu hanya melalui proses ledakan super hebat yang pada akhirnya dapat menimbulkan gejala mengembangnya alam semesta seperti yang saat ini kita amati.
Betapa energi yang tersimpan didalamnya, dengan temperatur teramat sangat panas. Batas penelitian saat ini barulah mencoba menguak kondisi alam semesta saat berusia 10–43 detik (Waktu Planck); atau 10–43 detik setelah Big Bang. Pada era waktu Planck, segala macam interaksi juga gravitasi menyatu dalam adonan semesta. Semua proses fisis berlangsung cepat, dan sedetik kemudian barulah terbentuk materi seperti proton, neutron, elektron. Dalam hitungan menit disusul lahir inti atom paling sederhana yaitu inti atom hidrogen. Sementara itu elektron masih bergerak bebas (layaknya kondisi ionisasi saat temperatur sangat tinggi). Bahkan interaksi elektron dan foton menyebabkan foton yang membawa informasi masih belum sanggup lepas darinya (mirip Lubang Hitam dengan titik singularitasnya).
Saat temperatur alam semesta mencapai 10.000 K. Mulailah terbentuk atom hidrogen netral, elektron bebas berkurang. Pada saat usia alam semesta sekitar 300.000 tahun dan temperatur mencapai 3000 K, barulah foton mulai bisa bergerak bebas ke segala arah. Foton generasi awal inilah yang saat sekarang dianggap sebagai sumber dari Radiasi Gelombang Mikro Latar Belakang (Cosmic Microwave Background Radiation) yang dideteksi bertemperatur sekitar 2,74 K. Istilah “latar belakang” pengertiannya adalah yang menunjukkan usianya lebih tua dari bintang, galaksi, ataupun benda langit yang selama ini dikenal. Juga karena sifat seragamnya di segenap pelosok jagad raya.
Teori tentang radiasi ini telah dilakukan oleh Walter S. Adams tahun 1941, dan diteruskan McKellar dengan temperatur teorinya sekitar 2,3 K. Sementara George Gamow bersama Ralph A. Alpher dan Robert Herman menunjukkan hasil teorinya tahun 1946, dengan temperatur radiasi sebesar 5 K. Pembuktian adanya radiasi latar belakang ini akhirnya didapat oleh Arno Penzias dan Robert Wilson tahun 1965 dengan memakai gelombang 7-cm (microwave) di Bell Telephone Laboratory – New Jersey. Keduanya mendapat hadiah Nobel Fisika tahun 1978.
Dalam masalah teori kosmologi di atas tentu dibutuhkan syarat awal (initial condition) yang sedemikian akan memunculkan kondisi alam semesta yang kini kita huni. Salah satunya parameter kerapatan yang bila ditinjau ke kondisi dini alam semesta harganya mendekati harga 1. Dari teori kosmologi standard di atas harga ini mendekati harga tersebut, dengan ketelitian 1 dalam 1060. Artinya mendekati kondisi awal terbentuknya alam semesta. Namun, harus diingat bahwa teori ini tidak dapat atau belum sanggup menembus batas pemahaman hingga sampai ke pertanyaan asal usul alam semesta. Belum lagi pemahaman tentang paduan interaksi kuantum (teori kuantum) dengan gravitasi yang sampai sekarang belum dapat dijelaskan dimana justru hal ini sangat mendasar.
Penemuan benda langit yang disebut Quasar (quasi stellar object, quasi pengertiannya kondisi menyerupai) yang dianggap merupakan benda langit yang berada di tepian jagad raya tentu menambah data pengamatan guna telaah makro jagad raya. Anggapan ini karena quasar memiliki ciri pergeseran merah sangat besar sekaligus berarti mempunyai kecepatan menjauh yang besar. Ordenya mencapai lebih dari setengah kali kecepatan cahaya. Pemetaan dan penelitian galaksi telah banyak dilakukan dalam skala jagad raya. Semisal COBE (Cosmic Background Explorer), Sloan Digital Sky Survey, dan 2-degree Field Survey, termasuk dalam jajaran pemetaan modern yang dibutuhkan dalam penelusuran awal mula alam semesta.
Hal ini tentunya juga salah satunya dalam penentuan usia jagad raya yang dapat ditentukan dari rumusan Hubble. Bila diketahui v = Hd, maka diketahui pula bahwa d = vt. Sementara 1 Mpc sekitar 3 x 1019 km dan konstanta H = 70 km/s/Mpc. Dari sini dapat diperkirakan bahwa usia jagad raya (t = 1/H) adalah sekitar 4,3 x 1017 detik atau setara dengan 13,6 milyard tahun.
Sementara itu kita ketahui bahwa alam semesta berisi aneka benda atau tersusun antara lain dari energi, materi, juga foton. Saat ini secara teoritis diketahui bahwa kontribusi materi hanya sekitar 30% saja, dan ternyata yang dapat dideteksi hanya 10%. Selebihnya memunculkan apa yang dikenal sebagai energi gelap (dark energy). Keberadaannya mulai terkuak sejak adanya penelitian dengan nama Supernovae Cosmology Project, dan pengamatan radiasi latar belakang dengan Wilkinson Microwave Anisotrop Probe. Energy gelap inilah yang dianggap penyebab mengembangnya jagad semesta (Apa dapat dikatakan gravitasi-negatif, berlawanan dengan gravitasi yang umum dikenal dengan sifatnya yang tarik menarik?)
Teori Big Bang saat ini menjadi pegangan dalam kosmologi standard. Kendati demikian, walau hanya dari penelusuran sejarah sebenarnya sempat terlontar 2 teori tentang alam semesta yang di kemudian hari salah satunya sulit diyakini keabsahannya karena tidak didukung data pengamatan. Kedua teori tersebut adalah sbb.:
1. Teori Keadaan Tetap (Steady State)
Dipelopori oleh Bondi, Hoyle, dan Gold. Alam semesta selalu tetap dan serba sama dalam ruang dan waktu. Senantiasa ada penciptaan materi baru (paling sederhana adalah hidrogen) untuk mengisi kekosongan ruang akibat pemuaian. Sifat alam semesta abadi, jadi tidak berawal dan tidak akan berakhir. Sekarang teori ini sudah ditinggalkan.
2. Teori Osilasi
Dipelopori oleh Alan Guth dan Andrei Linde. Intinya bahwa bila alam semesta ini mengembang, maka suatu saat nanti justru karena keterbatasan materi dan energinya sendiri suatu saat akan berhenti mengembang. Setelah ini terjadi, maka berlangsunglah proses balik. Alam semesta akan menuju bentuk awalnya kembali yang disebut Big Crunch (lawan dari Big Bang). Teori ini masih menjadi pertimbangan, bahkan cenderung akan dipertahankan. Namun, apakah setelah Big Crunch akan terulang lagi peristiwa Big Bang dan begitu seterusnya. Berdasarkan penelitian matematis fisika ataupun kosmologi, saat sekarang belum ada yang memastikannya.
VIII. Wilang Wendra Widiyuta Wigraha Wiku Wasistha Watya Wawargita:
Sebuah Pertimbangan akan Hadirnya Sahabat nun Jauh di Luar Sana
Dari hasil di atas tampak bahwa alam semesta begitu dinamis. Penemuan demi penemuan terus bergulir. Inipun tentu alam semesta yang sekedar dapat diamati manusia. Kumpulan data yang telah diperoleh pun baru sedikit yang diolah. Masih banyak data menanti untuk diteliti. Berharap dengan makin majunya iptek, juga jaringan kerjasama yang terkait dengan astronomi dan ragam keilmuan lain, tentu rasa optimis untuk menambah wawasan tentang jagad raya dengan segala isi dan fenomenanya serta ragam aspek yang menyertainya seharusnya perlu dikedepankan pada generasi mendatang. Namun, satu hal yang tidak bisa dikesampingkan bahwa seluas-luasnya jagad raya tentunya tidak mungkin lebih luas dari luasnya kekuasaan yang menciptakannya.
Kembali pada alur persahabatan, bila Bumi diibaratkan sebagai wahana antariksa, berbentuk bola berwarna biru pucat, maka “sang awak” wahana tidaklah tinggal di dalamnya – namun justru tinggal di permukaan. Bila kapal laut kelebihan beban muatan, maka dapatlah dia kandas tenggelam. Bila Bumi kelebihan beban muatan?? Apa yang harus dilakukan? Seleksi alam dapat jadi merupakan salah satu solusinya. “Kita”, anggaplah sebagai “sesuatu yang hidup” (Di sini kita tidak membahas hidup dari mana!). Sebut manusia hidup: di tubuhnya ada unsur apa saja dan ini merupakan ranah ujud – siapapun sah saja masuk ke dalam ranah tersebut. Mekanisme kerja organ tubuh, dokter pun sudah terbiasa dengan pelajaran ini. Yang diketahui misalnya jantung berhenti bekerja ataupun diambil – ya manusia tamat, titik. Jadi, terlalu cepat dan sembrono bila kita mencampur baurkan bahasan ini dengan “esensi hidup” karena ini merupakan “wewenang” dalam dataran “Jagad Rana Adi Ganesha”. Ada satu hal yang lumrah untuk belajar tentang “kehidupan” di dataran indrawi, mencari contoh sebanyak mungkin tentang segala sesuatu yang “hidup” dengan cara “memperbandingkan” segala yang terkait dengan “kehidupan kita”. Jadi berbekal ranah inilah (astrobiology salah satunya), pada dasarnya kita mencoba menelusuri unsur pendukung sebagai “syarat butuh” untuk berlangsungnya kehidupan – untuk mencoba memahami dinamika kehidupan kita sendiri yang akhirnya secara spirit memperoleh sesuatu dalam gejolak pemahaman seputar Jagad Rana Adi Ganesha, yang justru dalam menapak tangga ini menjadi pecah berantakan kalau kita berpikir secara lahiriah.
Kenyataan yang ada sampai saat ini bahwa manusia menyadari – walau jagad raya begitu luas namun tetaplah Bumi adalah satu-satunya tempat yang ber-“kehidupan”. Di satu sisi, manusia tetap berusaha dengan segala kerendahan hati untuk mencari sahabat bahkan hingga nun jauh di luar sana. “Eksplorasi dan pengembaraan di langit” terus dilakukan. Dalam dataran lain yang berdampingan di ranah lahir, dan justru menjadi salah satu sokoguru – bahwa apapun ragam penelitiannya, nyatanya masih tetap menunjukkan hasil bahwa lingkungan yang paling nyaman untuk kita tempati hanyalah planet Bumi. Hal ini sama saja artinya bahwa satu-satunya cara agar manusia tetap nyaman hidupnya adalah dengan cara mengelola, merawat, dan melestarikan Bumi dengan segala isi dan fenomenanya, karena inilah yang diamanatkan kepadanya. Dalam “pengembaraannya”, Bumi dan Jagad Raya adalah sahabat sejatinya.
Atau dari sisi lain, semua itu adalah dalam usaha kita untuk “mendorong terungkapnya dimensi ataupun fenomena yang masih sangat banyak tersembunyi, untuk menalar realita sebatas domain kerjanya sebagai makhluk yang secara mutlak punya keterbatasan. Selebihnya, terserah pada kita, bagaimana kita manfaatkan sains sebagai basis baik berlandas ranah ujud ataupun dataran spirit dan kita aktifkan fungsi transendental kita untuk menggapai Yang Maha Mulia yang ilmuNya (catatan: dikiaskan dalam ranah nalar pada tulisan di atas dengan Adi Ganesha) tidak tertampung bahkan dalam alam semesta yang maha luas ini.” Pada tahap ini, semoga kita dapat makin arif menyikapi berbagai isu sains khususnya astronomi dan justru mungkin saja segala ujaran jadi tidak bermakna, bahkan bibir pun terkunci terkatup rapat. Karena justru ujungnya pada suatu ranah tertentu adalah ”feel amazement”– rasa syukur dengan segala kerendahan hati karena mendapat kesempatan untuk merasakan penjabarannya dan indahnya ”Science” melalui ”Astronomy” sebagai tahapan pencarian sebanyak mungkin bekal di Jagad Buwana (widiyuta ing waudadi, wintang ing widik) untuk menuju Jagatkamuksan, yang ”keindahan tamannya” tak tertandingi oleh taman manapun di ranah ujud jagad semesta. Wartya Wiyata Wicitra Withing Wintang Widik Widik. Salam Astronomi. Pada akhir coretan ini, ada sedikit cuplikan yang barangkali kita pun dapat turut mengikuti ritme pemikiran salah satu maestro dalam astronomi dan fisika:
The fairest thing we can experience is the mysterious.
It is the fundamental emotion which stands at the cradle of true science.
He who knows it not, and can no longer wonder,
no longer feel amazement, is as good as dead.
(Albert Einstein)
IX. Acknowledgment
I am especially grateful to: Premana W. Premadi and Rahmat Restuadi that always provided advice on the theme, for their kind help and understanding – for their time and patience. All staffs of Jakarta Planetarium, Astronomy Study Program ITB, Bosscha Observatory ITB, The Indonesian Astronomical Society (HAI), Universe Awareness (UNAWE), IYA2009 Indonesia National Node. All members of HAAJ/FOSCA/SIRIUS/FPA/POLARIS for their best works especially: Ronny, Gwyn, Hendrawan, Tersia, Riser, Rayhan, Adly, Dessy, Lita, Arriza, Ngudi, Wahyudin, Nisa, Nurdin, Fahmi, Wiku, Dimas, Aynul, Yuda (Dept. of Physics – UNJ); team OSN – Astronomy DKI & Jabar especially Winston, Agus, Hariawan, Rama, Galih, Iqbal; Mrs. Eka (Sirius); and all members of langitselatan. Also to the local organizing committee of Partial Lunar Eclipse – SMA Muhammadiyah 1 Prambanan Yogyakarta. All members of Facilitator Teachers & Instructors of Astronomy Program on Astronomy Olympiad for their best cooperation and their very great effort on their job. Also, Mutoha Arkanuddin with his Jogja Astro Club as the best partner in the job. SALUTE – to all of you. I’m nothing without you. Thanks.
VIII. Daftar Pustaka
Ammarell, G., 1985, Sky Calendar of the Indo-Malay Archipelago: Regional Diversity/Local Knowledge, article at the IAU Colloqium 91 (History of Oriental Astronomy – New Delhi), p.84-104
Audouze, J. dan Guy Israel, (eds.), 1994, The Cambridge Atlas of Astronomy, 3rd edition, Cambridge Univ. Press, New York – Cambridge. p.333-381
van den Bosch, F., 1980, Der Javanische Mangsakalender, in Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 136 – no: 2/3, Leiden, p.248-282
Hawking, S. ,2001, The Universe in a Nutshell, Bantam Books, New York. p.67-99
Hidayat, T., 2000, Galaksi dan Asal Usul Jagad Raya, Penataran IPBA, Planetarium Jakarta
Hadiwidjojo, K.G.P.H., 1978, Bedhaya Ketawang, Dep. P dan K, Jakarta
Maass, A., 1924, Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde, Albrecht & Co., Batavia, Deel LXIV, p.104-105, 164-168, 437, appendix A, B, C-1
Sawitar, W., 2002, Tata Surya, Penataran IPBA, Planetarium Jakarta
Sawitar, W., 2003, Rasi Bintang: Sekilas Telaah Budaya, Makalah dalam Seminar Penelitian dan Sains Antariksa dalam rangka 80 Tahun Observatorium Bosscha di ITB
Sawitar, W., 2005, Constellations: In the Time Scale of the Cultures, in W. Sutantyo, P. W. Premadi, P. Mahasena, T. Hidayat and S. Mineshige (eds), Proceedings of the 9th Asian-Pacific Regional Meeting, p.328-329
Sawitar, W., 2005, Amateur Astronomy Workshop and Training for High School and Star Party in conjunction with The 9th Asian-Pacific International Astronomical Union Regional Meeting (APRIM 2005), 26 – 29 July, 2005 at Nusa Dua – Bali – Indonesia
Sawitar, W., 2008, Constellations: The Ancient Cultures of Indonesia. Paper poster of the 10th Asian-Pacific Regional Meeting 2008, Kunming – China
Sawitar, W., 2009, Arousing Students’ Interest to Astronomy through the Network of Amateur Astronomy, Scientific Group of Teenagers (KIR), and the Astronomy Olympiads, Conference of the Indonesian Astronomical Society 2009, October 29.
Sutantyo, W., 1984, Astrofisika : Mengenal Bintang, Penerbit ITB, Bandung
Corat coret ini sebagai kenangan akan kembali berseminya Sang Melati dari Sasana Budaya Ganesha dalam pergulatan usaha diri nan rentan ini diiringi Sang Wasistha dalam menapak tangga Wawargita ing Widya withing Jagad Rana Adi Ganesha. Sebuah Kenangan yang Teramat Indah dari Kolaborasi di Bumi SIRIUS89 (12 Desember 2009 dan 19 Juni 2010).
Salam WS
Jakarta, 03-09-10, 01:30 WIB
Artikel ini utamanya merupakan gabungan dan ringkasan dari beberapa artikel yang pernah dibuat, yang digunakan sebagai pedoman pada acara Penyuluhan Astronomi dan Pengamatan Gerhana Bulan di SMA Muhammadiyah 1 – Prambanan dan Pelataran Candi Prambanan – Yogyakarta, tanggal 25 – 26 Juni 2010. Untuk tambahan adalah pada bahasan atau telaah Kosmologi, dan untuk tulisan dengan font Script dikutip dari artikel Ibu Premana dan beberapa pemikiran merupakan perluasan dari penulis berdasarkan kajian beliau.
Kepada Bu Premana, maaf kalau tulisan ini masih berantakan padahal sebenarnya ingin sebagai hadiah untuk ibu atas segala bimbingannya selama ini. Hadiah ini masih ibarat parsel lebaran, belum ada wadah/keranjang dan bungkusnya. Oya, untuk segenap anggota HAAJ, ayo ikuti semangat beliau dalam mengemban semangat keastronomian yang tak pernah tergerus oleh waktu dan kondisi apapun, dan dengan misi dan visi yang semakin konvergen.
Tidak lupa, mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga puasa kita hari demi hari senantiasa menjadi yang terbaik dibandingkan dengan puasa yang pernah kita lakukan. Terbaik yang kita lakukan, terbaik yang dapat kita raih, dan semoga juga terbaik bagi Yang Di Atas. Amiiin.