Sejak penemuan pertamanya pada tahun 1992, topik eksoplanet (planet-planet yang mengorbit bintang selain Matahari) saat ini masih menjadi primadona di kalangan astronom internasional. Berdasarkan data yang dihimpun oleh NASA Exoplanet Archive (Christiansen et al., 2025) pada 28 Agustus 2025, sebanyak 5.989 eksoplanet telah berhasil ditemukan dan diidentifikasi keberadaannya. Setiap penemuan eksoplanet yang diumumkan oleh lembaga-lembaga penelitian astronomi akan disambut hangat dan pertanyaan lanjutan dari para ahli. Bahkan tidak jarang sambutan tersebut merambat hingga publik, bahkan hingga mencapai anak-anak yang menggandrungi topik luar angkasa dan dapat mengingat nama eksoplanet terbaru seperti Kepler, Trappist, dll. Sebenarnya mengapa topik ini memiliki daya tarik yang besar di dunia keilmuan astronomi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami bahwa motivasi awal dari pencarian eksoplanet sebenarnya bersumber murni dari rasa penasaran manusia. Pertanyaan sederhana berupa “apakah kita (manusia) sendiri di Alam Semesta ini” kemudian dipadukan dengan prinsip kosmologi yang dimaknai oleh Andrew Liddle (2003) sebagai “alam semesta bekerja dan terlihat sama di mana pun oleh siapa pun yang mengamatinya”. Dalam konteks eksistensi Tata Surya, hal ini dapat diartikan bahwa ada kemungkinan kondisi kehidupan di Bumi dapat muncul dan terjadi di sisi Alam Semesta yang belum kita temui saat ini. Bagi sebagian masyarakat awam, interpretasi tersebut mungkin dikaitkan diskursus mengenai keberadaan alien, dari membayangkan rupa hingga menakar potensi komunikasi antara manusia dan ‘alien’ tersebut. Namun para astronom menarik benang merah dari topik ini menjadi lebih fundamental, yakni mencari kemungkinan adanya planet yang menyerupai kondisi Bumi, yang bergerak mengelilingi sebuah bintang di luar sana.

Berangkat dari pemikiran tersebut, para astronom mulai mengarahkan teleskopnya ke berbagai bintang dan mencari tanda-tanda keberadaan planet di sekitarnya. Aktivitas deteksi eksoplanet memiliki tantangan tersendiri, mengingat planet yang dicari umumnya jauh lebih redup dan kecil dibanding bintang yang diamati, yang sudah tampak sebagai titik terang kecil di teleskop. Berikut merupakan rangkuman dari berbagai metode deteksi yang umum dilakukan.

How We Search for Exoplanet” Infographic by Planetary Society, 2020, CC BY-NC 3.0

Metode 1: Deteksi citra langsung (direct-imaging)

  • Konsep: mencari objek redup yang berada di dekat bintang, lalu dipantau jalur geraknya sepanjang waktu terhadap bintang tersebut.
  • Karakteristik temuan: eksoplanet dengan jarak orbit yang jauh dan tidak bergerak menghalangi bintang.
  • Kelemahan: tidak bisa menemukan objek berjarak jauh atau berjumlah banyak secara sekaligus dan sulit menemukan objek yang mengelilingi bintang yang cukup terang.
  • Jumlah temuan: 84 (1,4% dari total) eksoplanet.

Metode 2: Pengamatan astrometri

  • Konsep: mencari bintang yang bergerak secara tidak teratur, akibat terpengaruh secara gravitasi oleh massa eksoplanet.
  • Karakteristik temuan: eksoplanet bermasa definit dengan jarak orbit yang sangat jauh dan tidak bergerak menghalangi bintang.
  • Kelemahan: tidak bisa menemukan objek berjarak sangat jauh atau berjumlah banyak secara sekaligus dan sulit menentukan diameter objeknya sendiri.
  • Jumlah temuan: 5 (0,1% dari total) eksoplanet.

Metode 3: Fotometri transit

  • Konsep: mencari bintang yang meredup (dan terang kembali) dalam waktu yang teratur, akibat dari posisi eksoplanet yang menghalangi sinar bintang.  
  • Karakteristik temuan: eksoplanet dengan jarak orbit yang kecil dan diameter yang dapat diukur (relatif terhadap diameter bintang).
  • Kelemahan: tidak bisa menemukan objek dengan bidang orbit yang tegak lurus terhadap arah pandang pengamat dan kemungkinan terkecoh dengan penemuan bintang ganda.
  • Jumlah temuan: 4.438 (74,1% dari total) eksoplanet.

Metode 4: Pengukuran kecepatan radial bintang

  • Konsep: mencari bintang dengan spektrum cahaya yang konsisten bergeser ke arah biru (mendekat) dan ke arah merah (menjauh), akibat posisi bintang yang terpengaruh gravitasi eksoplanet.
  • Karakteristik temuan: eksoplanet berukuran besar dengan jarak orbit yang kecil dan dapat teramati oleh teleskop landas-Bumi.
  • Kelemahan: tidak bisa menemukan objek berjarak jauh atau berukuran kecil, serta sulit mengukur ukuran diameter eksoplanet.
  • Jumlah temuan: 1.133 (18,9% dari total) eksoplanet.

Metode 5: Variasi waktu periode (timing variation) saat transit, gerhana, atau pulsar

  • Konsep: mencari objek eksoplanet yang telah diketahui pola kecerlangannya, namun dalam waktu tertentu mengalami pergeseran pola akibat pengaruh gravitas dari eksoplanet.
  • Karakteristik temuan: eksoplanet berukuran besar, mungkin yang terletak di sekitar bintang-bintang unik, serta mudah diukur massanya.
  • Kelemahan: tidak bisa menemukan objek berjarak jauh atau berjumlah banyak secara sekaligus dan sulit menemukan eksoplanet yang dapat dihuni manusia.
  • Jumlah temuan: 66 (0.1% dari total) eksoplanet.

Metode 6: Microlensing

  • Konsep: mengamati bintang bermassa besar yang menjadi lebih terang dari biasanya saat berpapasan dengan bintang latar belakang, lalu menemui kecerlangan bintang besar tersebut kembali sedikit lebih terang meskipun sudah tidak tepat di depan bintang latar. Tambahan cahaya tersebut ‘dibawakan’ dari gravitasi planet yang melengkungkan ruang hantar cahaya bintang latar mendekat ke bintang besar.
  • Karakteristik temuan: eksoplanet yang sangat jauh dari Bumi, dengan jarak orbit yang jauh atau mungkin bergerak secara independen.
  • Kelemahan: penemuan sulti direplikasi karena bisa jadi hanya terjadi sekali, serta menyulitkan pencarian serentak eksoplanet dalam jumlah yang banyak.
  • Jumlah temuan: 253 (4% dari total) eksoplanet.

Dari ribuan eksoplanet yang telah dikonfirmasi, 75% telah diketahui ukurannya dan 32% telah diketahui massanya. Data yang telah dikalkulasikan oleh para astronom kemudian dibandingkan dengan model zona layak huni (habitable zone) yang berlaku di setiap sistem bintang. Jarak dan luas dari zona layak huni bergantung pada temperatur dan umur bintang utama, yang kemudian menentukan seberapa besar energi dan radiasi yang diterima pada suatu titik di sekitar bintang tersebut. Planet yang berada di dalam zona ini, seperti Bumi yang berada di zona layak huni Matahari, dapat diperkirakan memiliki kondisi yang ideal bagi air seperti di Bumi (tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin untuk tetap menjadi cair). Perkiraan ini menjadi penting saat kita berteori tentang kemungkinan unsur-unsur penyusun kehidupan dapat hadir dan bertahan lama. Hal ini membuat temuan parameter-parameter eksoplanet pada akhirnya bermuara kepada pertanyaan “apakah kehidupan dapat terjadi di planet tersebut?”

Infografis mengenai karakteristik bintang dan luas zona layak huni yang dimilikinya. Bintang seperti Matahari diklasifikasikan sebagai bintang G. Semakin kecil dan dingin bintang tersebut (G > K > M), semakin kecil zona layak huni yang dimilikinya. © NASA, ESA, Z. Levy (STSci).
Ilustrasi mengenai zona layak huni. © NASA.
Referensi
  • https://exoplanetarchive.ipac.caltech.edu/docs/counts_detail.html
  • Liddle, Andrew (2003). An Introduction to Modern Cosmology (2nd ed.). John Wiley & Sons. p. 2
  • https://www.planetary.org/space-images/how-we-search-for-exoplanets-infographic
  • https://science.nasa.gov/exoplanets/habitable-zone/
Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *